Daur Ulang Asa di Sekolah Hijau
Bab 1: Masalah yang Terabaikan
Di sudut halaman belakang SD Harapan Bangsa, tempat sampah di dekat kantin tampak meluber. Bungkus plastik, botol minuman, sisa makanan—semuanya bercampur menjadi satu. Aroma tak sedap mulai tercium ke seluruh penjuru sekolah saat matahari siang semakin terik.
Dua sahabat, Adit dan Rara, berdiri di sana sambil mengernyitkan hidung.
"Rara, tempat sampahnya kayak gunung. Padahal tiap minggu ada pengambilan dari bank sampah," keluh Adit sambil mengangkat bahu.
"Mungkin orang-orang masih bingung cara memilahnya, atau malah males," jawab Rara, memungut botol plastik lalu meletakkannya di tempat yang benar.
Keduanya memandang satu sama lain. Ada rasa ingin melakukan sesuatu. Rasa itu bukan sekadar prihatin—itu rasa penasaran yang mendorong untuk bertindak.
Bab 2: Ide yang Menyala
Sore harinya, di ruang perpustakaan, Adit membuka buku tentang teknologi lingkungan, sementara Rara menggambar sketsa di buku catatannya.
"Gimana kalau kita bikin alat yang bisa memilah sampah otomatis?" usul Rara, menunjuk sketsanya yang menggambarkan semacam kotak dengan dua lubang dan sensor di atasnya.
Adit menatap gambar itu dengan penuh semangat. "Itu keren banget! Kita bisa tambahin sensor warna dan bau. Jadi bisa bedain antara organik dan anorganik."
Mereka pun menyusun rencana. Selama beberapa hari berikutnya, mereka mengumpulkan bahan dari barang bekas: kardus, kabel USB rusak, sensor sederhana yang mereka dapat dari laboratorium sekolah, dan speaker mini dari radio lama.
Bab 3: Membangun SIPAS
Dengan bantuan Pak Dimas, guru IPA yang dikenal senang bereksperimen, Adit dan Rara mulai membangun prototipe alat mereka. Mereka menamainya **SIPAS**—*Sistem Pintar Pemilah Sampah*.
SIPAS memiliki mekanisme sederhana. Sampah dimasukkan melalui lubang atas, lalu sensor mendeteksi:
- Jika berbau tajam dan lembap → masuk ke wadah organik
- Jika kering dan ringan → masuk ke wadah anorganik
Mereka juga menambahkan speaker yang akan berbicara jika pengguna membuang sampah dengan benar: "Terima kasih sudah menjaga kebersihan!" atau "Hebat! Kamu memilah sampah dengan bijak!"
Bab 4: Uji Coba Pertama
Hari Jumat pagi, SIPAS resmi dipasang di dekat kantin. Murid-murid berkumpul, penasaran dengan alat kotak unik yang dihiasi gambar kartun lucu itu.
"Ini apa sih?" tanya seorang anak kelas 3.
"Coba buang sampahmu di situ," jawab Adit sambil tersenyum.
Anak itu memasukkan bungkus nasi ke dalam lubang. SIPAS berbunyi, "Wah, itu sampah organik. Bagus sekali!"
Anak-anak tertawa senang. Mereka mulai berlomba-lomba membuang sampah ke SIPAS. Bahkan guru-guru pun kagum dengan respons positif dari siswa.
Bab 5: Perubahan Dimulai
Dalam dua minggu, jumlah sampah yang tidak terpilah berkurang drastis. Kantin menjadi lebih bersih. Murid-murid makin sadar pentingnya memilah sampah. SIPAS pun diusulkan kepala sekolah untuk ikut serta dalam Lomba Inovasi Sekolah Se-Kota.
"Kerja kalian luar biasa," puji Bu Reni, kepala sekolah, saat upacara hari Senin. "Kalian telah membuktikan bahwa teknologi dan kepedulian bisa berjalan bersama."
Adit dan Rara saling tersenyum di tengah barisan. Bukan karena pujian, tapi karena tahu bahwa ide kecil mereka telah menumbuhkan dampak besar.
Bab 6: Masa Depan di Tangan Anak-Anak
Di bawah pohon besar tempat mereka dulu berdiskusi, Adit membuka laptop. Ia mulai merancang versi lanjutan SIPAS—yang bisa mengenali jenis plastik atau bahkan terhubung dengan aplikasi pelaporan sampah sekolah.
"Rara, kita bisa bikin SIPAS versi 2.0, loh. Dengan AI sederhana."
Rara tertawa. "Pelan-pelan dulu, profesor. Tapi aku suka idenya."
Mereka tak tahu seberapa jauh teknologi buatan mereka akan melangkah. Tapi satu hal pasti—mereka telah menyalakan api kecil perubahan dari tempat yang paling sederhana: sekolah, tempat mereka belajar, tumbuh, dan bermimpi.
Penutup
Kerja sama, kreativitas, dan keberanian untuk mencoba menjadi kunci dari cerita ini. Di tengah tantangan lingkungan, dua anak membuktikan bahwa perubahan bisa datang dari siapa saja, termasuk dari tangan kecil dengan ide besar.
---